REVIEW :PROSES KEBIJAKAN, KARAKTERISTIK, DAN ADVOKASINYA SERTA FROM LOCAL GOVERNMENT TO LOCAL GOVERNANCE

review

 PROSES KEBIJAKAN, KARAKTERISTIK, DAN ADVOKASINYA and    FROM LOCAL GOVERNMENT TO LOCAL GOVERNANCE.

Oleh

Dian Iskandar

 

Dalam bahan bacaan  PROSES KEBIJAKAN, KARAKTERISTIK, DAN ADVOKASINYA ini menurut penulis yang menjadi argumen adalah perlunya peningkatan peran civil society dalam proses pembuatan kebijakan publik untuk mewujudkan kebijakan partisipative. Hal ini terjadi karena Kebijakan public yang berkembang selama ini merupakan prespektif state-centric. Proses kebijakan berasal dari pemerintah ke arah masyarakat, dimana pemerintah merasa mengetahui apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Usulan world bank  untuk melihat kebijakan public sebagai proses timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa hal yang  penting yang perlu diketahui yaitu: Pertama, perumusan kebijakan haruslah sebagai proses  penyerapan  maupun artikulasi kepentingan public. Dalam rangka inilah partisipasi public suatu keharusan. Kedua, Keputusan yang diambil adalah ekspresi consensus antar berbagai pihak yang terkait. Ketiga, Pelaksanaan keputusan kebijakan, menunggangi bekerjanya mekanisme pasar, pemerintah bisa mengiringi  tercapainya tujuan public tanpa mendayagunakan sumberdaya pemerintah. Keempat, Yang berhak menentukan sukses atau gagalnya kebijakan adalah masyarakat.

Argumen berikutnya yaitu adanya advokasi kebijakan yang dalam konseptualisasi kebijakan, partisipasinya hanya terbatas dalam proses pembuatan kebijakan saja padahal advokasi kebijakan bisa berlangsung disetiap fase kebijakan  (keseluruhan proses kebijakan) corak seperti inilah proses kebijakan yang partisipatif dapat diwujudkan. Namun kebijakan tetap saja tergantung pada pejabat pemerintah, dan ini dapat dikatakan bahwa advokasi kebijakan yang dilakukan bisa sia-sia jika pemerintah tetap memegang kendali dalam rangkaian proses kebijakan. Adanya kerancuan konseptualisasi kebijakan tersebut memberikan peluang civil society diterimanya advokasi kebijakan sebagai kewajaran  dan disadari sebagai suatu kebutuhan. civil society dimaknai sebagai penggalangan consensus, dan keputusan kebijakan  yang telah dilandasi consensus maka implementasinya justru semakin mudah.

Model advokasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Topatimasang mengatakan tujuan advokasi kebijakan adalah merubah kebijakan public, dan cara untuk mencapainya adalah dengan mengembangkan aliansi dalam suatu “lingkaran inti”. Lingkaran inti yang merumuskan berbagai strategi yang perlu untuk merubah kebijakan public. Upaya untuk mengubah kebijakan ini dilakukan dengan penggalangan kemampuan “otot” maupun kemampuan “otak  dan kombinasi keduanya. Dalam kerangka fikir seperti ini, maka advokasi kebijakan bersifat ad hoc dan sporadic.

Advokasi kebijakan mengisyaratkan pentingnya pengembangan koalisi antara pihak-pihak sepaham. Dalam praktek, sukses advokasi sangat ditentukan oleh keberhasilan menggalang sinergi antara tekanan masa yang berada di”luar” lingkar pembuat kebijakan, dan dengan dukungan pihak dalam pemerintah. Maka dari itu dalam makalah ini menggunakan framework koalisi advokasi yang dikemukan oleh Paul A Sabatier, Ia berpendapat bahwa proses kebijakan hanyalah suatu sub-sistem dari system kebijakan. Di dalam sub-sistem ini terjadi interaksi (konflik dan kerjasama) antara berbagai stakeholder. Bekerjanya subsistem kebijakan dipengaruhi oleh kendala dan sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh actor yang terlibat.

Selanjutnya dalam makalah ini argumen yang penulis temukan adalah Kebijakan yang partisipatif atau pro civil society adalah kebijakan yang mengedepankan dimensi advokasi dalam pengelolaannya. Agar dapat mengiringi proses yang diperlukan untuk mencapai misi kebijakan maka perlunya memahami karakteristik kebijakan yang ditangani dan bisa mengambil langkah yang tepat untuk mensikapi karakteristik kebijakan yang bersangkutan.

Dalam beberapa tahun belakangan ini kuatnya peningkatan  kualitas  keterlibatan masyarakat serta akomodasi masukan dari warga negara dalam perumusan kebijakan seperti yang di suarakan. sebagai reaksi balik gagasan-gagasan yang selama ini cenderung teknokrasi dan top down, adalah pendekatan yang sifatnya partisipatif dan berbasis komunitas  dalam perumusan kebijakan dan atau pengambilan keputusan.[1]Dalam proses kebijakan publik yang mengharapkan partisipasi civil society ini terdapatnya beberapa kekuatan seperti keputusan yang diambil pemerintah yang tidak memuaskan akan menggerakkan pihak yang tidak puas ini untuk memperjuankan kepentingannya, maka proses kebijakan  akan terus menerus mengalir dalam bentuk tuntutan atau dukungan masyarakat yang senatiasa direspon secara mekanistik oleh para pejabat negara.[2]

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik maka apa yang diaspirasikan dikehendaki  oleh masyarakat dapat disampaikan secara langsung melalui advokasi kebijakan yang ada dapat dikatakan bahwa dengan adanya partisipasi masyarak maka akan langsung tertuju pada pokok permasalahan. Dan dengan adanya pelibatan masyarakat makadapat mengantisipasi hal-hal yang tidak terpikirkan oleh pemerintah saat proses kebijakan publik dilaksanakan. masyarakat juga akan berfungsi sebagai alat kontrol proses pelaksanaan kebijakan tersebut. Adanya Advokasi[3] yang merupakan usaha sistematik dan terorganisir untuk mepengaruhi dan mendesak terjadinya perubahan  dalam kebijakan publik secara bertahap maju. Dan advokasi koalisi ini Secara prosedural rasional, bertindak atas dasar informasi dan keyakinan.

Sedangkan kekurangan dalam hal ini adanya ketidak siapan masyarakat maupun pemerintah terhadap perubahan situasi, kemudian kebijakan partisipasi yang mengusung peran civil society tidak efisien dalam hal waktu dan dana yang dikeluarkan dalam proses kebijakan publik tersebut.

Pada  bahan bacaan kedua yang berjudul FROM LOCAL GOVERNMENT TO LOCAL GOVERNANCE. Ada beberapa argumen yang penulis temukan yaitu: pertama, J. S Mill  (1861) yang menyatakan bahwa demokrasi lokal menawarkan pada masyarakat untuk melakukan kebebasan mereka dan mengekspresikan identitas mereka dengan cara berbeda dan melengkapi tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Idenya adalah bahwa lembaga-lembaga politik lokal dapat lebih dekat dengan warga negara dibanding pemerintah nasional. Politik lokal menawarkan beberapa potensi untuk pembaruan demokratis. Para politisi dan birokrat yang bertanggung jawab atas pemerintah daerah politik lokal dapat memacu para pengambil keputusan untuk melibatkan warga negara semakin dalam urusan publik dan membantu pemerintah menanggapi masyarakat yang mereka perintah.

Kedua, goverment merujuk pada prosedur formal dan lembaga masyarakat telah diciptakan untuk mengekspresikan kepentingan mereka, untuk menyelesaikan sengketa dan untuk melaksanakan pilihan publik. Sedangkan governance adalah suatu pola fleksibel pengambilan keputusan publik berdasarkan longgar jaringan individu. Govemance tidak hanya berusaha untuk menggambarkan suatu bentuk yang lebih jaringan politik, juga mengacu pada kapasitas sistem yang mengatur untuk mengkoordinasikan kebijakan dan memecahkan masalah publik dalam konteks kompleks

Ketiga, penyebab terjadinya perubahan yang membawa ke arah governance, antara lain: Internasionalisasi ekonomi; Permintaan yang lebih besar bagi sektor swasta untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik; Eropanisasi kebijakan publik; Tantangan baru kebijakan, kebijakan baru muncul karena kesadaran yang lebih besar dan aktivitas kelompok kepentingan dan publik massa; Pergeseran partisipasi politik; Bergerak ke pos-birokrasi negara. Adanya pergeseran ini menyebabkan adanya Pembagian kekuasaan dalam negara terus mempengaruhi pembuatan kebijakan. munculnya kelompok-kelompok kepentingan baru dan penurunan klientelisme.

Dari apa yang disampaikan dalam bahan bacaan kedua ini, penulis dapat mengetahui bahwa tujuan adanya local governance bukan hanya sekedar pelimpahan wewenang dari pusat namun sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat lokal dan juga mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat.

Keterkaitan argumen kedua bahan bacaan tersebut, menurut saya adanya mencerminan kombinasi aktivisme civil society untuk mempengaruhi keputusan publik dengan sensitivitas pemerintah daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang berkeadilan dalam menerapkan konsep partisipasi civil society   dalam proses governance tersebut.  Kemudian Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi partisipasi masyarakat dan masyarakat belum terbiasa dengan partisipasi aktif dan sukarela, atau mereka masih terbiasa dengan mobilized participation. Disitulah peranan local governance untuk membuat masyarakat berpartisipasi dalam lingkup pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan local advocacy.

Kontribusi teoritik dua bahan bacaan ini yaitu: Proses kebijakan bisa disederhanakan sebagai dinamika antar kelompok. Governance menghendaki adanya partisipasi masyarakat. perilaku komponen governance (baca: civil society, swasta, negara) dapat dipahami sebagai pilihan-pilihan rasional ketika di satu pihak, aktor memiliki preferensi atau keyakinan, dan di sisi lain ada kendala struktural yang membatasi pilihan.

Dari argumen-argumen yang dikemukakan kedua bahan tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Civil society yang terefleksikan  dalam organisasi civil society, sektor privat dan negara yang direpresentasikan oleh pemerintah, ketiganya berada daam posisi yang sejajar. Dan oleh karena itu penyelenggaraan urusan publik tidak lagi bisa dilakukan oleh satu aktor tunggal, misalnya negara saja. Secara lebih khusus, perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan  sebagai sebuah instrumen penyelenggaraan urusan publik, harus diupayakan sejauh mengkin melibatkan tiga wilayah governance ini.  Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, civil society memerlukan kapasitas untuk mempenetrasi, mengakses, membangun hubungan dan mempengaruhi lembaga-lembaga pengambilan keputusan di eksekutif maupun legislatif baik local maupun nasional.

Daftar literatur:

Eddi Wibowo, T Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2004. Kebijakan publik dan budaya. Yogyakarta: YPAPI

Florentinus Sudiran, Signifikansi UU Pemerintahan Daerah Dalam Meningkatkan Partisipasi Dan Pelayanan Publik

Muhammad Asfar, Wacana Masyarakat Madani (Civil-Society): Relevansi untuk Kasus Indonesia. Jurnal Masyarakat Kebudayaan Dan Politik: Volume 14, NO. 1:49-60

Purwo santoso. 2010.  Analisis Kebijakan Publik. Polgov


[1] Eddi Wibowo, T Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan. Kebijakan publik dan budaya. YPAPI 2004. Hal 31

[2] Purwo santoso analisis kebijakan publik, polGov 2010 hal165-166

[3] Definisi netral yang disampaikan fakih pada tahun 2000  dalam Kebijakan publik dan budaya

Leave a comment